Pemenuhan
kebutuhan pangan merupakan salah satu hak manusia yang paling azasi dan salah
satu faktor penentu ketahanan nasional. Karena itu, kekurangan pangan secara
meluas di suatu negara akan menyebabkan kerawanan ekonomi, sosial, dan politik
yang dapat menggoyahkan stabilitas nasional.
Tanaman
padi adalah tanaman penghasil beras yang digunakan sebagai bahan pangan utama
hampir 90 persen penduduk Indonesia. Sehingga dapat dikatakan bahwa beras
merupakan bahan makanan pokok utama dan sangat dominan di Indonesia yang
memiliki kedudukan sangat penting dan telah menjadi komoditas strategis. Dengan
jumlah penududuk pada saat ini yang mencapai lebih dari 220 juta orang dengan
tingkat konsumsi beras 135 kg per kapita per tahun, ketersediaan beras memegang
peranan penting bagi ketahanan pangan.
Dalam
penyediaan beras, Indonesia masih menghadapi beberapa kendala yang berkaitan
dengan terbatasnya kapasitas produksi nasional yang disebabkan oleh: konversi lahan
pertanian ke non pertanian, menurunnya kualitas dan kesuburan tanah, terbatas
dan tidak pastinya ketersediaan air irigasi akibat perubahan iklim dan
persaingan pemanfaatan sumber daya air, serta tidak pastinya pola hujan akibat
perubahan iklim global. Sehingga, untuk memenuhi kebutuhan beras salah satu
cara adalah kecenderungan melakukan impor.
Dalam
upaya memenuhi kebutuhan beras dari produksi padi dalam negeri dan menekan
serta menghilangkan impor beras adalah melalui ekstensifikasi dan intensifikasi
lahan tanaman padi dengan penerapan inovasi teknologi budidaya padi. Inovasi
teknologi yang mampu meningkatkan produksi padi salah satunya dengan pendekatan
teknologi System of Rice Intensification (SRI). SRI merupakan suatu teknik
budidaya padi dengan memanfaatkan teknik pengelolaan tanaman, tanah, air dan
unsur hara. Dimana melalui teknologi SRI diharapkan mampu meningkatkan
produktivitas tanaman padi 50 persen bahkan mampu mencapai 100 persen. Selain
itu, teknik budidaya padi SRI merupakan sistem pertanian yang ramah lingkungan
karena mengutamakan penggunaan bahan organik sehingga mampu mendukung terhadap
pemulihan kondisi lahan yang cenderung mengalami leveling-off.
KONSEP
DAN PRINSIP SRI
SRI,
kependekan dari System of Rice Intensification adalah salah satu inovasi metode
budidaya padi yang diperkenalkan pada tahun 1983 di Madagaskar oleh pastor
sekaligus agrikulturis asal Perancis, Fr. Henri de Laulanie, yang telah
bertugas di Madagaskar sejak 1961. Awalnya SRI adalah singkatan dari
"Systeme de Riziculture Intensive" dan pertama kali muncul di jurnal
Tropicultura tahun 1993. Di Madagaskar, hasil metode SRI sangat memuaskan
dimana pada beberapa tanah tidak subur dengan produksi normalnya 2 ton/ha,
petani yang menggunakan SRI memperoleh hasil panen lebih dari 8 ton/ha,
beberapa petani memperoleh 10 – 15 ton/ha, bahkan ada yang mencapai 20 ton/ha.
Metode SRI minimal menghasilkan panen dua kali lipat dibandingkan metode yang
biasa dipakai petani.
Tahun
1990 dibentuk Association Tefy Saina (ATS), sebuah LSM Malagasy untuk
memperkenalkan SRI. Empat tahun kemudian, Cornell International Institution for
Food, Agriculture and Development (CIIFAD), mulai bekerja sama dengan Tefy
Saina untuk memperkenalkan SRI di sekitar Ranomafana National Park di
Madagaskar Timur, didukung oleh US Agency for International Development. Saat
itu, SRI hanya dikenal setempat dan penyebarannya terbatas. Sejak akhir
1990-an, SRI mulai mendunia berkat Prof. Norman Uphoff, mantan direktur CIIFAD.
Tahun
1997, Dr. Norman Uphoff memberikan presentasi SRI di Bogor, Indonesia; untuk
pertama kalinya SRI dipresentasikan di luar Madagaskar. Tahun 1999, untuk
pertama kalinya SRI diuji di luar Madagaskar yaitu di China dan Indonesia. Pengujian
SRI di Indonesia dilaksanakan oleh Badan Penelitian Tanaman Padi (Indonesian
Agency for Agricultural Research and Development/IAARD) di pusat penelitiannya
di Sukamandi, jawa Barat. Hasil pengujian diperoleh bahwa, panen dengan metode
SRI sebesar 6,2 ton/ha sedangkan hasil dari petak control sebesar 4,1 ton/ha,
sehingga ada peningkatan hasil sebesar 66,12 persen. Sejak itu, SRI diuji coba
di lebih dari 25 negara dengan hasil panen berkisar 7 – 10 ton/ha.
Prinsip budidaya padi dengan metode
SRI, antara lain:
1.
Tanam bibit muda berusia antara 7 – 12 hari setelah semai (HSS) ketika bibit
masih berdaun 2 (dua) helai.
Penggunaan
bibit muda berkaitan dengan bahwa penggunaan bibit padi yang berumur 5 – 15 HSS
menghasilkan pertumbuhan tanaman lebih cepat karena daya jelajah akar lebih
jauh sehingga perkembangan akar menjadi maksimal pada akhirnya kebutuhan
nutrisi tanaman tercukupi. Selain itu, penggunaan bibit berumur 10 hari, akan
menghasilkan jumlah anakan maksimal 30 – 50 batang dalam setiap rumpunnya.
2.
Tanam tunggal atau tanam bibit satu lubang satu bibit.
Penggunaan
satu bibit per lubang tanam bermanfaat untuk mengurangi kompetisi serta
meningkatkan potensi anakan produktif per rumpun.
3.
Jarak tanam lebar.
Jarak
tanam yang lebar dengan lebar, yaitu: 25 x 25 cm, 30 x 30 cm, 40 x 40 cm atau
bahkan lebih. Penggunaan jarak tanam lebar bertujuan untuk meningkatkan jumlah
anakan produktif. Penggunaan jarak tanam yang cukup lebar didasarkan pada
kebutuhan makanan bagi tanaman, mendorong pertumbuhan akar secara maksimal, dan
memaksimalkan sinar matahari yang masuk secara optimal. Selain itu, dengan
menggunakan jarak tanam yang cukup, tanaman dapat tumbuh berkembang dengan baik
dan menghasilkan produksi secara baik pula.
4.
Pindah tanam harus segera mungkin (kurang dari 30 menit) dan harus hati-hati
agar akar tidak putus dan ditanam dangkal.
5.
Sistem pengairan intermitten atau sistem pengairan berselang.
Pengairan
teknik berselang, yaitu air di areal pertanaman diatur pada kondisi tergenang
dan kering secara bergantian dalam periode tertentu, dimana pemberian air
maksimum 2 cm (macak-macak) dan periode tertentu dikeringkan sampai pecah. Padi
merupakan tanaman tumbuh optimal pada tanah yang lembab dan becek sebagai
syarat tumbuh. Untuk itu, tanaman padi sebenarnya tidak perlu air yang melimpah
(penggenangan), namun juga tidak dalam situasi tanah kering. Dengan pengaturan
air yang baik, akan terjaga aerasi tanah yang baik pula dimana aerasi yang baik
adalah syarat tumbuh yang baik bagi tanaman padi. Apabila sawah selalu
digenangi air maka aerasi (siklus udara dalam tanah) tidak masimal sehingga
tanah menjadi asam.
6.
Penyiangan sejak awal sekitar umur 10 hari dan diulang 2 - 3 kali dengan
interval 10 hari.
7.
Penggunaan pupuk organik dan pestisida organik.
Sedangkan
keunggulan dari metode SRI, antara lain: (1) Dengan sistem pengairan berselang,
pemakaian air dapat dihemat hingga 50 persen. Selama pertumbuhan dari mulai
tanam sampai panen pemberian air maksimum 2 cm paling baik kondisi macak-macak
sekitar 5 mm dan terdapat periode pengeringan sampai tanah retak (irigasi
terputus). (2) Tanam bibit muda mampu mengurangi stres tanaman saat di
pindahtanam. (3) Hemat biaya, karena hanya membutuhkan benih sebanyak 5 kg/ha,
tidak membutuhkan biaya pencabutan bibit, tidak membutuhkan biaya pindah bibit,
meminimalkan tenaga tanam, dan lain-lain. (4) Hemat waktu, ditanam pada saat
bibit berumur muda yaitu 7 - 12 hari setelah semai sehingga waktu panen akan
lebih awal. (5) Produksi meningkat, bahkan di beberapa tempat mampu mencapai 11
ton/ha atau bahkan lebih. (6) Ramah lingkungan, secara bertahap penggunaan
pupuk kimia akan dikurangi dan digantikan dengan mempergunakan pupuk organik
(kompos, kandang dan MOL), begitu juga penggunaan pestisida.
TEKNIK
BUDIDAYA SRI
Penyiapan
dan Pengolahan Lahan
Proses
awal pengolahan lahan adalah dengan dibajak untuk membalikkan tanah dan memecah
tanah menjadi bongkahan-bongkahan juga menghancurkan gulma setelah sebelumnya
lahan digenangi air selama beberapa hari agar tanahnya menjadi lunak. Setelah
pembajakan pertama lahan sawah dibiarkan tergenang beberapa hari dan kemudian
dilakukan pembajakan kedua. Kedalaman dari pelumpuran lahan turut menentukan
pertumbuhan tanaman dan sebaiknya kedalaman pelumpuran tersebut setidaknya
mencapai 30 cm. Selain itu juga dilakukan perbaikan pematang sawah agar lahan
sawah tidak bocor dan tidak ditumbuhi tanaman liar dan untuk menghindari tikus
bersarang di pematang sawah.
Pupuk
organik (kompos/kandang) sebagai pupuk dasar dapat ditebarkan sebelum pekerjaan
penggaruan sehingga pada saat digaru pupuk organik (kompos/kandang) dapat
bercampur dengan tanah sawah atau juga dapat ditebar setelah proses pembajakan,
sehingga pupuk organik (kompos/kandang) dapat tercampur dengan tanah sawah
secara merata dan tidak terbuang terbawa aliran air. Penggaruan selain untuk
makin memperhalus butiran tanah sehingga menjadi lumpur juga sekaligus
bertujuan untuk meratakan lahan.
Jumlah
penggunaan pupuk organik sebagai pupuk dasar yang ideal adalah sebanyak 1 kg
untuk setiap 1 m2 luas lahan atau sebanyak 10 ton per hektar. Hal ini berkaitan
bahwa kebutuhan pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem konvensional
adalah 10 ton per hektar dan dapat diberikan sampai 2 musim taman. Setelah
kelihatan kondisi tanah membaik maka pupuk organik dapat berkurang disesuaikan
dengan kebutuhan.
Perataan
lahan merupakan proses yang sangat penting karena lahan harus benar-benar rata
dan datar sehingga akan memudahkan dalam pengaturan air nantinya sesuai dengan
keperluan. Selanjutnya area penanaman padi parit keliling dan melintang petak
atau dibuat dalam baris-baris atau petakan yang dipisahkan dengan jalur
pengairan/parit dengan lebar petakan sekitar 2 m untuk memudahkan dan meratakan
rembesan air ke seluruh area tanaman padi dan membuang kelebihan air. Dapat
juga letak dan jumlah parit pembuang disesuaikan dengan bentuk dan ukuran
petak, serta dimensi saluran irigasi.
Persiapan
Benih
Untuk
mendapatkan benih yang bermutu baik atau bernas, harus terlebih dahulu diadakan
pengujian benih. Pengujian benih dilakukan dengan cara penyeleksian menggunakan
larutan air garam dengan langkah sebagai berikut:
1.
Masukkan air bersih ke dalam ember/panci, kemudian berikan garam dan aduk
sampai larut.
2.
Masukkan telur ayam/itik/bebek yang mentah ke dalam larutan garam ini. Jika
telur belum mengapung maka perlu penambahan garam kembali. Pemberian garam
dianggap cukup apabila posisi telur mengapung pada permukaan larutan garam
karena berat jenisnya menjadi lebih rendah daripada air garam.
3.
Masukkan benih padi yang akan diuji ke dalam ember/panci yang berisi larutan
garam. Aduk benih padi selama kira-kira satu menit.
4.
Pisahkan benih yang mengambang dengan yang tenggelam. Benih yang tenggelam
adalah benih yang bermutu baik atau bernas.
5.
Benih yang baik atau bernas ini, kemudian dicuci dengan air biasa sampai
bersih. Dengan indikasi bila digigit, benih sudah tidak terasa garam.
Benih
yang telah diuji tersebut, kemudian direndam dengan menggunakan air biasa.
Perendaman ini bertujuan untuk melunakkan sekam gabah sehingga dapat
mempercepat benih untuk berkecambah. Perendaman dilakukan selama 24 sampai 48
jam.
Benih
yang telah direndam kemudian diangkat dan dimasukkan ke dalam karung yang
berpori-pori atau wadah tertentu dengan tujuan untuk memberikan udara masuk ke dalam
benih padi, dan kemudian disimpan di tempat yang lembab. Penganginan dilakukan
selama 24 jam.
Persemaian
Benih
Persemaian
dengan metode SRI dapat dilakukan dengan dua cara yaitu persemaian pada lahan
dan persemaian dengan media tempat. Persemaian pada lahan adalah persemaian
yang langsung dilakukan di lahan pertanian, seperti pada sistem konvensional.
Sedangkan persemaian dengan media tempat yaitu persemaian yang menggunakan
wadah berupa kotak/besek/wonca/pipiti/tampah yang ditempatkan di areal terbuka
untuk mendapatkan sinar matahari.
Pembuatan
media persemaian dengan penggunaan wadah ini dimaksudkan untuk memudahkan
pengangkutan dan penyeleksian benih. Untuk lahan seluas satu hektar dibutuhkan
wadah persemaian dengan ukuran 20 cm x 20 cm sebanyak 400 – 500 buah.
Kotak/besek/wonca/pipiti bisa juga diganti dengan wadah lain seperti pelepah
pisang atau belahan buluh bambu. Pembuatan media persemaian dengan menggunakan
wadah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1.
Mencampur tanah dengan pupuk organik dengan perbandingan 1:1.
2.
Sebelum wadah tempat pembibitan diisi dengan tanah yang sudah dicampur dengan
pupuk organik, terlebih dahulu dilapisi dengan daun pisang atau plastik dengan
tujuan untuk mempermudah pencabutan dan menjaga kelembaban tanah, kemudian
tanah dimasukkan dan disiram dengan air sehingga tanah menjadi lembab.
3.
Tebarkan benih ke dalam wadah. Jumlah benih per wadah antara 300 – 350 biji.
4.
Setelah benih ditabur, kemudian tutup benih dengan arang sekam sampai rata
menutupi benih.
5.
Persemaian dapat diletakkan pada tempat-tempat tertentu yang aman dari gangguan
ayam atau binatang lain.
6.
Selama masa persemaian, lakukan penyiraman setiap pagi dan sore apabila tidak
turun hujan agar media tetap lembab dan tanaman tetap segar.
Pada
pembuatan media persemaian pada lahan, tanah untuk penyemaian tidak menggunakan
tanah sawah tetapi menggunakan tanah darat yang gembur yang dicampur dengan
pupuk organik/kompos dengan perbandingan 2:1 atau 1:1 dan dapat juga ditambah
abu bakar agar medianya semakin gembur sehingga benih mudah diambil dari
penyemaian untuk menghindari putusnya akar. Luas area untuk penyemaian ideal
adalah sekitar 20 m2 untuk setiap 5 kg benih.
Penyemaian
yang dilakukan di sawah, tempat penyemaian dibuat menjadi berupa guludan dengan
ketinggian tanah sekitar 15 cm, lebar sekitar 125 cm dan seluruh pinggirannya
ditahan dengan papan, triplek atau batang pisang untuk mencegah erosi. Benih
yang sudah ditebar kemudian ditutup lagi dengan lapisan tipis tanah atau kompos
atau abu bakar untuk mempertahankan kelembabannya kemudian ditutup lagi dengan
jerami atau daun kelapa untuk menghindari dimakan burung dan gangguan dari air
hujan sampai tumbuh tunas dengan tinggi sekitar 1 cm.
Penanaman
Sebelum
penanaman terlebih dahulu dilakukan penyaplakan dengan memakai caplak agar
jarak tanam pada areal persawahan menjadi lurus dan rapi sehingga mudah untuk
disiang. Caplak berfungsi sebagai penggaris dengan jarak tertentu. Variasi
jarak tanam diantaranya: jarak tanam 25 x 25 cm, 30 x 30 cm, 35 x 35 cm, atau
jarak tertentu lainnya. Penyaplakan dilakukan seeara memanjang dan melebar
dimana setiap pertemuan garis dari hasil penggarisan dengan caplak adalah
tempat untuk penanaman 1 bibit padi.
Bibit
ditanam pada umur muda yaitu berumur 7 – 10 hari setelah semai (hss) atau
ketika bibit masih berdaun 2 helai. Pengambilan bibit pada persemaian di lahan
sawah dilakukan dengan hati-hati dengan cara diambil dengan media tanam (tanah)
dengan ketebalan sekitar 10 cm. Pengambilan bibit pada persemaian tidak
dianjurkan dengan cara dicabut/ditarik kemudian diikat dan ditumpuk. Kemudian
kumpulan bibit tersebut ditempatkan dalam suatu wadah seperti pelepah pisang,
potongan bambu atau lainnya untuk memudahkan memindahkan ke tempat penanaman.
Pemindahan dan penanaman harus dilakukan secepat mungkin dalam waktu kurang
dari 30 menit untuk menghindari trauma dan shok. Sedangkan bibit yang ditanam
menggunakan wadah akan lebih mudah membawanya ke tempat penanaman.
Bibit
padi ditanam tunggal atau satu bibit perlubang. Penanaman harus dangkal dengan
kedalaman 1 – 1,5 cm serta bentuk perakaran saat penanaman horizontal seperti
huruf L dengan kondisi tanah sawah saat penanaman tidak tergenang air.
Penyiangan
Penyiangan
(gosrok/matun) dilakukan dengan mempergunakan alat penyiang seperti gasrok,
landak atau rotary weeder atau dengan alat jenis apapun dengan tujuan untuk
membasmi gulma dan sekaligus penggemburan tanah. Penyiangan dengan gasrok atau
mempergunakan rotary weeder, selain dapat mencabut rumput, juga dapat menggemburkan
tanah di celah-celah tanaman padi. Penggemburan tanah bertujuan agar tercipta
kondisi aerob di dalam tanah yang dapat berpengaruh baik bagi akar-akar tanaman
padi yang ada di dalam tanah.
Penyiangan
dilakukan minimal 3 kali. Penyiangan pertama dilakukan pada saat tanaman
berumur 10 hari setelah tanam (HST) dan selanjutnya penyiangan kedua dilakukan
pada saat tanaman berumur 20 HST. Penyiangan ketiga pada umur 30 HST dan
penyiangan keempat pada umur 40 HST.
Pemupukan
Pemupukan
bertujuan untuk mempertahankan status hara dalam tanah, menyediakan dan
menambahkan unsur hara secara seimbang bagi pertumbuhan atau perkembangan
tanaman, serta meningkatkan produktivitas tanaman. Pemupukan untuk menambahkan
unsur hara dapat dilakukan dengan penyemprotan pupuk organik cair (POC) atau
dapat juga disebut dengan MOL (mikroorganisme lokal). Penyemprotan MOL tidak
hanya memberikan tambahan unsur hara ke dalam tanah, tetapi juga menambahkan
kelimpahan bakteri pengurai ke dalam tanah untuk mempercepat proses dekomposisi
bahan organik dan mengurai hara yang komplek menjadi lebih sederhana agar lebih
cepat diserap oleh tanaman. Selain itu, penyemprotan MOL sebainya di arahkan ke
tanah bukan ke tanaman.
Konsentrasi
larutan dalam penyemprotan MOL diharapkan jangan terlalu pekat untuk
menghindari terjadinya proses dekomposisi yang berlebihan pada tanah yang
mengakibatkan akan menguningnya tanaman untuk sementara karena unsur N yang ada
dipergunakan oleh bakteri pengurai untuk aktivitasnya. Proses dekomposisi yang
berlebihan juga akan terjadi bila menggunakan pupuk kandang atau daun-daunan
segar secara langsung ke sawah tanpa proses pengkomposan terlebih dahulu
sehingga tidak baik bila diaplikasikan pada sawah yang sudah ada tanaman
padinya. Tetapi resiko penggunaan MOL atau POC yang berlebihan atau terlalu
pekat tetap akan jauh lebih ringan daripada penggunaan bahan kimia.
Interval
penyemprotan MOL dilakukan setiap 10 hari sekali, dimana penyemprotan MOL kaya
kandungan N dapat dilakukan pada usia tanaman padi 10 – 40 hari setelah tanam
(HST) tetapi penyemprotan MOL kaya N juga dapat dilakukan kapanpun apabila
diperlukan pada kondisi padi terlihat mengalami kahat/kekurangan N dengan
gejala daun menguning. Penyemprotan MOL yang kaya P dan K sebanyak 2 atau 3
kali saat tanaman padi sudah memasuki usia sekitar 60 HST untuk memperbaiki
kualitas pengisian gabah dengan interval penyemprotan setiap 10 hari.
Sehingga,
penyemprotan dengan MOL dapat dilakukan sebagai berikut:
1.
Penyemprotan I, dilakukan pada saat umur 10 HST, dengan menggunakan MOL yang
terbuat dari daun gamal, rebung atau keong mas dengan dosis 20 liter/ha.
2.
Penyemprotan II, dilakukan pada saat umur 20 HST, dengan menggunakan MOL yang
terbuat dari daun gamal, rebung atau keong mas, dengan dosis 30 liter/ha.
3.
Penyemprotan III, dilakukan pada saat umur 30 HST, dengan menggunakan MOL yang
terbuat dari urine sapi, rebung atau keong mas, dengan dosis 30 liter/ha.
4.
Penyemprotan IV, dilakukan pada saat umur 40 HST, dengan menggunakan MOL yang
terbuat dari batang pisang, dengan dosis 30 liter/ha.
5.
Penyemprotan V, dilakukan pada saat umur 50 HST, dengan menggunakan MOL yang
terbuat dari serabut kelapa, dengan dosis 30 liter/ha.
6.
Penyemprotan VI, dilakukan pada saat umur 60 HST, dengan menggunakan MOL yang
terbuat dari buah-buahan, sayur-sayuran atau nasi dengan dosis 30 liter/ha.
7.
Penyemprotan VI, dilakukan pada saat umur 70 HST, dengan menggunakan MOL yang
terbuat dari buah-buahan, sayur-sayuran atau nasi, dengan dosis 30 liter/ha.
8.
Penyemprotan VI, dilakukan pada saat umur 80 HST, dengan menggunakan MOL yang
terbuat dari terasi, dengan dosis 30 liter/ha.
Pengelolaan
Air
Pola
pengaturan air dengan pendekatan teknologi SRI adalah dengan pengairan
berselang atau intermitten. Pengairan berselang adalah pengaturan kondisi lahan
dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian sesuai fase pertumbuhan
tanaman dan kondisi lahan. Pengairan berselang dapat menghemat pemakaian air
antara 15 – 30 persen tanpa menurunkan hasil panen.
Proses
pengelolaan air dengan pengairan berselang dapat dilakukan sebagai berikut:
1.
Tanam bibit dalam kondisi sawah macak-macak (ketinggian genangan ± 0,5 cm).
2.
Pergiliran air dilakukan selang 3 – 5 hari, tinggi genangan pada hari pertama
maksimal 3 cm dan lahan sawah diairi lagi pada hari ke 5. Cara pengairan ini
berlangsung sampai fase anakan maksimal.
3.
Petakan sawah digenangi mulai dari kondisi macak-macak (0,5 cm) hingga tinggi
genangan 3 cm secara terus-menerus mulai dari fase pembentukan malai/fase
berbunga sampai pengisian biji.
4.
Pada saat melakukan pemupukan atau penyemprotan MOL kondisi sawah tidak
tergenang.
5.
Sekitar 10 – 15 hari sebelum panen, sawah dikeringkan.
6.
Pengecekan kondisi air dapat menggunakan alat sederhana yaitu pipa dari paralon
yang sisi-sisinya dilubangi atau bahan lain yang ditanam ditanah. Petakan sawah
diari apabila permukaan air berada pada pada kedalaman lebih dari -15.
Keunggulan
dari pengairan berselang, antara lain: 1) Menghemat air irigasi sehingga areal
yang dapat diairi menjadi lebih luas; 2) Memberi kesempatan kepada akar untuk
mendapatkan udara sehingga dapat berkembang lebih dalam; 3) Mencegah timbulnya
keracunan besi; 4) Mencegah penimbunan asam organik dan gas H2S yang menghambat
perkembangan akar; 5) Mengaktifkan jasad renik mikroba yang bermanfaat; 6)
Mengurangi kerebahan tanaman; 7) Mengurangi jumlah anakan yang tidak produktif
(tidak menghasilkan malai dan gabah); 8) Menyeragamkan pemasakan gabah dan
mempercepat waktu panen; 9) Memudahkan pembenaman pupuk ke dalam tanah (lapisan
olah); dan 10) Memudahkan pengendalian hama keong mas, mengurangi penyebaran
hama wereng coklat dan penggerek batang, serta mengurangi kerusakan tanaman
padi karena hama tikus.
Pengendalian
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)
Pengendalian
hama dan penyakit dengan pendekatan teknologi SRI dilakukan dengan sistem
pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT), yaitu usaha pengelolaan
OPT yang menggunakan beberapa cara pengendalian yang sesuai dalam satu sistem
kompatibel dengan memanfaatkan dan mengelola unsur-unsur dalam agroekosistem
(seperti: matahari, tanaman, mikroorganisme, air, oksigen, dan musuh alami) sebagai
alat pengendali hama dan penyakit tanaman. Sehingga, pengendalian organisme
pengganggu tanaman dapat dilakukan dengan menggunakan pestisida nabati,
pestisida biologi, dan agensia hayati.
Pemanenan
Penanganan
panen dan pasca panen padi meliputi beberapa tahap kegiatan yaitu: penentuan
saat panen, pemanenan, penumpukan sementara di lahan sawah, pengumpulan padi di
tempat perontokan, perontokan, pengeringan gabah, pengemasan dan penyimpanan
gabah, penggilingan, pengemasan dan penyimpanan beras.
Penentuan
saat panen merupakan tahap awal dari kegiatan penanganan pasca panen padi.
Ketidaktepatan dalam penentuan saat panen dapat mengakibatkan kehilangan hasil
yang tinggi dan mutu gabah/beras yang rendah. Penentuan saat panen dapat
dilakukan berdasarkan pengamatan visual dan pengamatan teoritis.
1.
Pengamatan Visual. Pengamatan visual dilakukan dengan cara melihat kenampakan
padi pada hamparan lahan sawah. Berdasarkan kenampakan visual, umur panen
optimal padi dicapai apabila 90 sampai 95 persen butir gabah pada malai padi
sudah berwarna kuning atau kuning keemasan serta malai berumur 30 – 35 hari
setelah berbunga merata. Padi yang dipanen pada kondisi tersebut akan
menghasilkan gabah berkualitas baik sehingga menghasilkan rendemen giling yang
tinggi.
2.
Pengamatan Teoritis. Pengamatan teoritis dilakukan dengan melihat deskripsi
varietas padi dan mengukur kadar air dengan moisture tester. Berdasarkan
deskripsi varietas padi, umur panen padi yang tepat adalah 30 sampai 35 hari
setelah berbunga merata atau antara 135 sampai 145 hari setelah tanam.
Berdasarkan kadar air, umur panen optimum dicapai setelah kadar air gabah
mencapai 22 – 23 persen pada musim kemarau, dan antara 24 – 26 persen pada
musim penghujan.
Pemanenan
padi harus dilakukan pada umur panen yang tepat, menggunakan alat dan mesin
panen yang memenuhi persyaratan teknis, kesehatan, ekonomi dan ergonomis, serta
menerapkan sistem panen yang tepat. Ketidaktepatan dalam melakukan pemanenan
padi dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang tinggi dan mutu hasil yang
rendah. Pada tahap ini, kehilangan hasil dapat mencapai 9,52 persen apabila
pemanen padi dilakukan secara tidak tepat.